Jumat, 02 Juni 2017

Penyakit hati dan media sosial?

Tulisan ini adalah tulisan paling serius yang mungkin akan saya tulis. 

Bismillah...

Kita hidup di era digital, begitu mudahnya memperlihatkan hidup kita dan melihat bagaimana kehidupan orang lain. Artinya, mudah juga buat menjudge sesorang, mengkritik sesuatu. Mudah suka sama orang, mudah benci sama orang. Dan lebih mudah lagi untuk menunjukkan itu. Di sisi lain, kita juga mudah menjadi follower, ikut2 an sama yang lagi ngetren di media sosial, yang lagi hitz buat dipost di snapgram.

Iya, saya juga begitu. Saya menjadi sadar begitu kuatnya pengaruh orang lain di hidup saya, pasca media sosial ini booming, meledak. Lahirlah kita generasi 'nunduk', yaitu yang lebih banyak menatap layar monitor daripada berinteraksi sosial. Yang kayaknya nih sehari ga update instastory kok kayanya ada yang kurang, semacam wujud eksistensi diri. Seolah-olah buat meneriakkan Heiii, ini gue masih hidup lho! 

Ya mau gimana ya, antara seneng sama sedih hidup di zaman ini, (yang kadang-kadang sedihnya dikit banget, dikiiiit banget karena hidup udah telanjur tenggelam dalam cyber). Di sisi lain, banyak banget hal yang jadi lebih mudah gara-gara media sosial ini. Transportasi, transaksi perbankan, shopping, bisnis..etdah beli makan aja sekarang gampang banget tinggal pesen lewat gojek/grab, udah deh kenyang.

Banyak banget sebenarnya topik yang bisa diambil, tapi sekarang saya pengen banget menghubungkan fenomena ini dengan yang namanya penyakit hati.

Semua orang pasti punya penyakit hati. Penyakit hati itu jenisnya banyak, ada iri/ain, takabur, sombong, riya, dll banyak banget. Trus hubungannya sama media sosial apa mil??

Berhubungan banget! Kalian pasti juga diam-diam merasa. Contoh kecilnya misalnya kamu abis kepo akun instagram temen kalian..trus tiba tiba nih di hati ada yg ngebisikin kamu "Enak bgt deh hidupnya ga kaya gue" Atau "Cantik banget sih dia.."
Itulah ain, itulah iri. 

Entah karena dulu saya belum concern sama bisikan-bisikan itu atau dunia belum semilenial sekarang atau gara-gara dulu belom banyak main media sosial, rasa-rasanya baru sekarang ini saya merasa,  iri dan penyakit hati lain itu nyata dan mengganggu banget. Selain bisa menimbulkan penyakit ain buat orang yang kita iri-kan tanpa mengucap asma Allah, ada efek samping lainnya terhadap mental health seseorang. Terlalu banyak iri dengan kehidupan orang lain, membuat kita tidak bersyukur, dan efek lebih jauhnya kita jadi ga mencintai diri sendiri. Kita jadi punya paradigma kita harus menjalani kehidupan yang sama idealnya dengan orang lain. 
Well, we just show what we want to show
Kadang kita lupa itu. Ketika seseorang menunjukkan hal-hal baik dalam dirinya, bukan berarti tidak ada hal yang buruk. Yah...but when we dont know about something we tend to assume.
Contohnya, dulu ada teman yang bilang ke saya "Kamu hidup kok sedih mulu sih, mil" dan rasanya itu langsung jleb banget, kaya pengen tereak "ehhh hidup aku bahagia lhoh!!" dan ternyata memang saya yang membuat teman saya berpikir seperti itu. Karena saya memang cenderung asyik di dunia maya justru saat lagi (misalkan: sendiri, atau galau) di kehidupan nyata dan memang suka nulis yang galau2 *haduh. Waktu itu langsung sadar, ohhh jadi orang menilai saya tuh kaya gitu ya. Hmm kita memang menilai dari apa yang terlihat saja.

Itu baru satu jenis penyakit hati. Gimana kalo riya?
Pernah ga sih kalian ingin berbagi sesuatu, misalkan yang muslim pengen share sepenggal ayat Quran, trus mikirnya lamaaa banget gara-gara takut dibilang show off/riya? 
Padahal mungkin di hati kalian tulus mau berbagi manfaat, tapi takut dibilang sok atau gimana gitu.
Yah mungkin kita memang tidak setulus itu deh, misalkan di hati masih 1% riya. Tapi 99% nya niat baik berbagi. Gapapa kan ya sebenarnya? 
Maksud saya ketika membagikan sebuah kebaikan saja penuh sekali pertimbangan dan akhirnya tidak jadi, tapi ketika membagikan hal-hal yang cenderung buruk kita malah no consideration, tidak ada pertimbangan, post mah post aja. 
Itu yang saya lihat dan saya rasakan. Apalagi waktu viral kata-katanya Awk*rin "kau benci ku yang apa adanya, dan silakan sukai mereka yang belaga baik di depan kamera" ???  Ihhh rasanya tuhhhh asdfghjkl. Serius. Memakai tameng "lebih baik apa adanya" ketika memperlihatkan perilaku buruk. Rasanya pengen teriak di telinganya Yaelahhhh, mendingan lihat orang munafik yang menyebarkan kebaikan, daripada orang yang udah ga tau malu dan bangga memperlihatkan keburukannya. Soal munafik sama tidaknya niat orang itu urusan pribadi orang itu dengan TuhanNya tapi kalau kelakuan buruk ditiru oleh banyak orang itu urusannya sama manusia juga.
Ya memang ada saatnya kita harus menghindari berbuat sesuatu yang menimbulkan riya. Menetralkan hati dulu, itu yang paling ideal, Yah walaupun susah sekali dilakukan karena terlalu banyak maksiat yang kita lakukan, jadi hati menyesuaikan.
Intinya "Kita gabisa menjudge seseorang dari niatnya, karena seribu persen kita ga tau apa yang ada di hati seseorang" 

Ada lagi. Haters. Orang-orang yang full hatred di dalam hatinya.
Dulu pernah baca post an nya Gita Savitri di blognya tapi lupa entrinya apa, intinya pokoknya kenapa ya ada orang yang sebegitu benci dengan sesuatu kemudian menunjukkan kebencian itu dalam bentuk tulisan yang kasar dan menumbangkan seseorang, yang bahkan dia ga kenal, atau bahkan alasan yang ga vital.Yang dimaksud disini, menjelek2an dengan kata-kata kasar dan ga pantas dibaca, bukan sekedar kritik lagi. ini hate. 
Jujur,  misalkan lagi liat post apa gitu trus jadi sebel/benci, saya ga pernah sampai menuliskan di kolom komentarnya, dan atau lain. Apalagi orang yang kita tidak kenal, artis atau siapa lah.
Contoh real nya nih yang lagi hot adalah penampilan salah satu pesulap Indonesia di ajang pencarian berbakat American's got Talent yang sekarang jadi trending no 1 di youtube Indonesia *gilak anak yutub banget wkwk. Pertama liat, wah keren sih...habis itu nonton untuk kedua kalinya sambil menebak-nebak gimana ya caranya. oh gini deh kayanya,..Manusiawi. Tapi serius ya cuma sekedar itu, ga menurunkan persepsi keren tadi waktu di awal nonton. Lalu waktu baca komen nya, hmmm. ada perang bar-bar di kolom komentar, dan isinya orang Indonesia semua. 
Isinya adalah orang-orang yang selalu dan selalu mencari kesalahan/bahan omongan, menjelek-jelekkan istri Demian yang katanya overacting, hingga memberi tahu trik sulap itu seolah-olah dia juga bisa melakukannya. Sedangkan orang-orang luar negeri (yang mungkin lebih jenius dan pinter dari kita) malah sibuk tuh mengapresiasi penampilan itu.
Tapi balik lagi sih, setiap orang berbeda-beda sifatnya. Mungkin kadang-kadang baik menjadi judgemental/critical, tapi harus melihat efeknya bagi orang lain. Kemarin nemu ini dan sedih sih


 https://www.youtube.com/watch?v=b7-wRFdbhY0 (Youtuber Bocah by Agung Hapsah)

https://www.youtube.com/watch?v=Sg4r71rzgZ8&t=2s (Demian Aditya American Got Talent menurut Deddy Corbuzier)


Jadi gimana kesimpulannya? Gatau... ini cuma yang akhir2 ini saya pikirkan dan rasakan. Saya bisa menulis ini justru karena masih banyak iri, riya, dll. Karena saya merasakannya makanya bisa menuliskannya. Semoga menjadi terpikirkan dan bermanfaat. Setidaknya untuk saya sendiri yang masih jatuh bangun, supaya ada yang mengingatkan. Bismillahirrahmanirrahim semoga Allah menjauhkan kita dari penyakit hati. 

Bintaro, 2 Juni 2017

Minggu, 14 Mei 2017

gratefull



Unfortunately,  i cant write when im happy.  This journal is almost full of everything about my sadness,  my desperation, my disappointment,  my downfall..
It is true that i was less gratefull of what i had. Sometimes i was ashamed by my self because of that.  My own write became proof and like talk to me

See?  Your situation is not that bad.  Your problem seems fading away.  Everything is going to be okay for sure..

Here is the proof that i have to happy and gratefull no matter what. Everything that I've gone trough teach me something important. 

Sometimes i have to close my eyes from those sparkling things in people,  and enjoy mine

Jumat, 12 Mei 2017

Seorang nenek dan dua cucunya

12 Mei 2017
Gerbong wanita,  krl menuju tanah abang

Satu orang wanita paruh baya dengan dua anak kecil- anak laki2 berumur 4 tahun an, dan anak perempuan berumur 5 tahun an- duduk di depan saya.
Saya tidak terlalu memperhatikann dan lebih asyik dengan novel happy little soul atau melihat sekelumit jakarta dibalik kaca kereta.

Baru lima detik saya duduk di krl khusus wanita yang lumayan sepi itu,  telinga saya menangkap percakapan perempuan paruh baya itu di telepon, setengah marah,  setengah kecewa,  tapi saya belum peduli dan memperhatikan.

Tapi setelah itu,  saya dengar sekali, bagaimana dua anak disampingnya begitu antusias mengajak ngobrol perempuan paruh baya itu (yang ternyata neneknya).  Saya melihat wajah dua anak itu semangat ,  dan sesekali mereka mencium neneknya tanpa diminta.

Neneekkknenekkk! Nanti dhifa kesini lagi ya nekkk??? 

Neneeekkk dhifa tadi naik mobil yaaa???

Nenekkkk neneekkkkk!!!

Dua anak itu bergantian mengajak ngobrol neneknya, wajah mereka lucu,  apalagi yang laki2,  gigi depan atasnya gigis semua. Tapi gatau kenapa nenek itu cuma menjawab sekenanya. Agak galak dan acuh. Dalam hati saya, kenapa ya,  mungkin neneknya bosan ditanyain terus,  manusiawi.

Saya melanjutkan membaca novel happy little soul,  sampai di halaman 100, bab melibatkan anak dan jadikan dia merasa penting.  Tiba2 saya langsung berhenti membaca,  dan mengalihkan pandangan ke depan ketika mendengar adek laki2 itu bilang ke neneknya:

Nenek jangan nangis yaaa,  katanya sambil memegang pipi neneknya

Saya melihat mata nenek itu berkaca-kaca dan bilang soalnya nenek keseldisuruh telpon gamau,  ga ngabarin

Saya gatau siapa yg ga telpon nenek itu.  Hingga sampai stasiun tanah abang lalu kami turun dari krl,  hingga sekarang saya menulis ini,  saya (karena kejadian kecil di kereta itu) tiba-tiba memikirkan ibu dan ayah,  yang semakin tidak rutin saya telpon,  yang seolah2 saya menjadi terbiasa hidup jauh dari mereka. Saya takut menjadi orang dewasa sibuk yang buruk. 

Pasti mereka juga sesedih nenek itu,  jika merasa saya mulai lupa untuk berkabar pada mereka.  Mulai asyik sendiri dengan dunia perantauan yang (kata saya)  tujuannya buat mereka bangga. 

Kamis, 20 April 2017

Same sadness (all the time)

Hari ini datang lagi,  Tuhan.  

Saat aku merasa banyak tertawa,  tapi di dalam sini sedih sekali. 

Aku merasa sudah melebur dengan kepura2an sehingga yang terasa hanya paradoks. Kemunafikan.

Aku tidak bisa membedakan,  mungkin banyak dosa yang kulakukan,  sehingga sebahagia apapun 
hati tetap tidak tenang. 

Ketika sumber kebahagiaan bukan lagi Yang Mencipta dan diri sendiri. 

Orang2 meng-abu aku ikut meng-abu.



Hari ini datang lagi,  Tuhan

Seperti tidak mengenali diri sendiri, banyak alasan, tidak tau yang mana yang membuat sesedih ini

Mungkin semuanya

Aku sendiri yang suka sok tau terhadap perasaan dan keadaan orang lain

Mengetahui sebenarnya pemicu sedih ini apa, tujuan sedih ini apa, mengapa aku harus sedih, mengapa tidak bisa berhenti pada sedih yang sama

Aku tau semuanya

Sementara mengetahui, bukan merupakan penyelesaian.

Aku ini terlalu munafik, terlalu munafik, terlalu munafik

Sementara Allah sangat membencinya

Mana yang harusnya aku tulis terlebih dahulu, melebur dan mengabur

Tidak menjadikan kesedihanku sebuah kronologi yang jelas



oh, sebenarnya ini perkara apa. Dunia ku dan akhiratku...

Aku takut menjadi fasik, Allah

Dunia seolah-olah hanya berupa pengejaran terhadap cinta orang lain

Saat diri merasa tidak spesial, terbuang, terpinggirkan, terlukai, terhina, dianggap tidak ada, rasa itu muncul

Kekecewaan itu muncul, artinya aku masih tidak bisa lurus dan tegak ke langit saat disorot mata manusia lain




Aku ingin menyanyangi diriku sendiri, aku ingin memaafkan diriku sendiri.

Kamis, 09 Februari 2017

Melihat manusia lain

Malam ini ada perasaan ingin menulis sesuatu. Aku bukan pujangga dengan ribuan kata-kata bermakna dalam, tapi malam ini aku ingin menuliskan sesuatu yang sulit dimengerti. Sesuatu itu tidak bisa aku definisikan dengan baik, terhalang dinding-dinding kemunafikan, aku hanya manusia jenis penakut yang takut pada mata-mata manusia lain. Dan dibalik dinding itu aku melihat kumpulan manusia lain yang seolah mudah saja melewati dinding, tanpa sayatan atau darah. Kutebak mereka sudah lama disana, hingga lukanya telah sembuh dan aku baru melihat. Mustahil kan mereka terbang atau menembus dinding itu, tapi jika iya aku ingin tau darimana mereka belajar. Aku ingin kesana. Melupakan aku yang lama, menggugurkan hati yang patah mendormansikan melankoli, jika itu bisa aku akan senang sekali.

“Jika suatu sore seseorang yang aku kira pemberani  itu, menangis tersedu dan nestapa di balik kedua telapak tangannya, aku kira sekarang aku bisa sedikit mengerti.”

Pemberani, apa kedewasaan itu bisa dihitung? Aku sungguh butuh rumus matematika yang akurat agar bisa mengukurnya dengan tepat. Semakin aku damba, semakin menguras pikiranku. Berpikir apa yang aku lakukan ini dewasa atau tidak. Berpikir kenapa aku tidak bisa jadi kamu. Jangan-jangan selama ini rancu usahaku, atau kedewasaan memang seharusnya tidak diusahakan kepala.
Pemberani,  jika aku merasa aku orang baik, bukankah aku malah bukan orang baik? Saat aku dikecewakan aku merasa hati mendramatisasi, sorotan lampu semuanya diarahkan padaku, setan meracuni pikiran. Bahwa aku baik, dan seseorang yang menyakiti itu tidak baik. Aku jadi seolah-olah merasa tidak pernah mengecewakan orang lain. Sampai suatu saat ternyata aku tau, meninggalkan tidak semudah berlalu kemudian lupa dari mana dia berasal, melupakan tidak semudah membuat kenangan baru dengan orang baru tanpa malam-malam sesak karena rindu masa lalu, bahkan melukai tidak mudah. Ternyata benar, hidup penuh keabu-abuan dan tidak baik memandang sesuatu dari satu sisi.
Pemberani, suatu hari aku mendengarkan cerita dari seorang manusia lain. Manusia itu suka tertawa dan menyenangkan orang lain. Hal yang aku tidak tau, dia menjadi melankoli tiap malam, kemudian air mata untuk hal-hal abstrak dan sepele. Ada ironi, dan pertanyaan di kepalaku, terus-terusan, karena aku merasa sama. Apakah tiap manusia begitu dan layaknya dibiarkan saja, atau itu bentuk penyimpangan psikologi yang entah bagaimana mengatasinya?
Pemberani, pernahkah kamu merasa sangat munafik? Suatu saat ketika kamu melebur dalam senyum dan tawa-tawa manusia lain  dan merasa bahagia, namun saat kamu pulang dalam kamar yang hanya ada kamu sendiri, kamu merasa itu tadi bukan kamu? Ah, sepertinya aku bercanda terlalu banyak. Ah, kenapa aku menceritakan itu kepadanya… Ah, kenapa tadi aku kekanak-kanakan? Kamu merasa tidak puas dengan sifatmu, dan rasa-rasanya kebahagiaan itu bukan kebahagiaan yang semestinya. Semua orang ingin melihat bahagianya, sebagai kenangan yang tidak ingin mereka ubah.  
Pemberani, dalam perjalalananku aku bertemu berbagai rupa, dan beberapa orang adalah sahabat perempuanku. Perempuan-perempuan itu sangat menginspirasi. Aku ingin sekali jadi mereka, semoga iriku adalah iri yang baik, agar tetap tidak melupakan syukur dan mencintai diri sendiri. Mengagumi orang lain, tanpa men-inferiorkan diri sendiri.
Pemberani, aku baru memahami, ayah dan ibu juga baru sekali menjadi ayah dan ibu. Maka ketika mereka mengecewakan kita atau membuat kesalahan, itu hal yang wajar. Sebagaimana kita. (Reply 1988)
Pemberani, ada laki-laki datang pada banyak mimpi. Dia datang dalam hegemoni yang berbeda, terkadang lebih banyak antagonis. Kebaikan muncul ke permukaan, hilang lagi diseret arus. Aku menyakinkan arus itu yang nyata, tapi kebaikan menepi di kapalku lagi. Hanya saja, aku sekarang menyadari kenapa aku egois pada kebaikan seseorang. Ini waktu yang tepat untuk melihat sesuatu dari dua hal sekaligus. Kebaikannya indah, arusnya juga indah. Lebih indah lagi, awan pada langit yang biru agar aku melihat ke atas sembari mengarung kapalku ke tepi. Sampai waktunya aku menemuimu pemberani, di ujung pantai dekat dermaga. Semoga saat itu aku juga sudah jadi pemberani.

Pemberani, aku tau aku menulis hal-hal aneh. Tapi inilah pikiranku di awal bulan Februari tahun 2017 saat umurku 19 tahun. Mungkin terlalu banyak pertanyaan retoris, tapi aku benar-benar bersyukur bisa menuliskannya daripada hanya berputar-putar di kepalaku dan mulai terabaikan.

Untuk hal-hal yang mungkin pernah terlintas pada pikiran manusia lain juga, aku akan sangat bersyukur.

9 Februari, 17

Boyolali