Malam ini ada perasaan ingin
menulis sesuatu. Aku bukan pujangga dengan ribuan kata-kata bermakna dalam,
tapi malam ini aku ingin menuliskan sesuatu yang sulit dimengerti. Sesuatu itu
tidak bisa aku definisikan dengan baik, terhalang dinding-dinding kemunafikan,
aku hanya manusia jenis penakut yang takut pada mata-mata manusia lain. Dan dibalik
dinding itu aku melihat kumpulan manusia lain yang seolah mudah saja melewati
dinding, tanpa sayatan atau darah. Kutebak mereka sudah lama disana, hingga
lukanya telah sembuh dan aku baru melihat. Mustahil kan mereka terbang atau
menembus dinding itu, tapi jika iya aku ingin tau darimana mereka belajar. Aku
ingin kesana. Melupakan aku yang lama, menggugurkan hati yang patah
mendormansikan melankoli, jika itu bisa aku akan senang sekali.
“Jika suatu sore seseorang yang aku kira pemberani itu, menangis tersedu dan nestapa di balik kedua
telapak tangannya, aku kira sekarang aku bisa sedikit mengerti.”
Pemberani, apa kedewasaan itu
bisa dihitung? Aku sungguh butuh rumus matematika yang akurat agar bisa
mengukurnya dengan tepat. Semakin aku damba, semakin menguras pikiranku.
Berpikir apa yang aku lakukan ini dewasa atau tidak. Berpikir kenapa aku tidak
bisa jadi kamu. Jangan-jangan selama ini rancu usahaku, atau kedewasaan memang
seharusnya tidak diusahakan kepala.
Pemberani, jika aku merasa aku orang baik, bukankah aku
malah bukan orang baik? Saat aku dikecewakan aku merasa hati mendramatisasi,
sorotan lampu semuanya diarahkan padaku, setan meracuni pikiran. Bahwa aku
baik, dan seseorang yang menyakiti itu tidak baik. Aku jadi seolah-olah merasa
tidak pernah mengecewakan orang lain. Sampai suatu saat ternyata aku tau,
meninggalkan tidak semudah berlalu kemudian lupa dari mana dia berasal,
melupakan tidak semudah membuat kenangan baru dengan orang baru tanpa
malam-malam sesak karena rindu masa lalu, bahkan melukai tidak mudah. Ternyata
benar, hidup penuh keabu-abuan dan tidak baik memandang sesuatu dari satu sisi.
Pemberani, suatu hari aku
mendengarkan cerita dari seorang manusia lain. Manusia itu suka tertawa dan
menyenangkan orang lain. Hal yang aku tidak tau, dia menjadi melankoli tiap
malam, kemudian air mata untuk hal-hal abstrak dan sepele. Ada ironi, dan
pertanyaan di kepalaku, terus-terusan, karena aku merasa sama. Apakah tiap
manusia begitu dan layaknya dibiarkan saja, atau itu bentuk penyimpangan
psikologi yang entah bagaimana mengatasinya?
Pemberani, pernahkah kamu merasa
sangat munafik? Suatu saat ketika kamu melebur dalam senyum dan tawa-tawa
manusia lain dan merasa bahagia, namun
saat kamu pulang dalam kamar yang hanya ada kamu sendiri, kamu merasa itu tadi
bukan kamu? Ah, sepertinya aku bercanda
terlalu banyak. Ah, kenapa aku menceritakan itu kepadanya… Ah, kenapa tadi aku
kekanak-kanakan? Kamu merasa tidak puas dengan sifatmu, dan rasa-rasanya kebahagiaan
itu bukan kebahagiaan yang semestinya. Semua orang ingin melihat bahagianya,
sebagai kenangan yang tidak ingin mereka ubah.
Pemberani, dalam perjalalananku aku
bertemu berbagai rupa, dan beberapa orang adalah sahabat perempuanku.
Perempuan-perempuan itu sangat menginspirasi. Aku ingin sekali jadi mereka,
semoga iriku adalah iri yang baik, agar tetap tidak melupakan syukur dan
mencintai diri sendiri. Mengagumi orang lain, tanpa men-inferiorkan diri
sendiri.
Pemberani, aku baru memahami,
ayah dan ibu juga baru sekali menjadi ayah dan ibu. Maka ketika mereka
mengecewakan kita atau membuat kesalahan, itu hal yang wajar. Sebagaimana kita.
(Reply 1988)
Pemberani, ada laki-laki datang
pada banyak mimpi. Dia datang dalam hegemoni yang berbeda, terkadang lebih
banyak antagonis. Kebaikan muncul ke permukaan, hilang lagi diseret arus. Aku menyakinkan
arus itu yang nyata, tapi kebaikan menepi di kapalku lagi. Hanya saja, aku
sekarang menyadari kenapa aku egois pada kebaikan seseorang. Ini waktu yang
tepat untuk melihat sesuatu dari dua hal sekaligus. Kebaikannya indah, arusnya
juga indah. Lebih indah lagi, awan pada langit yang biru agar aku melihat ke
atas sembari mengarung kapalku ke tepi. Sampai waktunya aku menemuimu
pemberani, di ujung pantai dekat dermaga. Semoga saat itu aku juga sudah jadi
pemberani.
Pemberani, aku tau aku menulis
hal-hal aneh. Tapi inilah pikiranku di awal bulan Februari tahun 2017 saat umurku 19
tahun. Mungkin terlalu banyak pertanyaan retoris, tapi aku benar-benar
bersyukur bisa menuliskannya daripada hanya berputar-putar di kepalaku dan
mulai terabaikan.
Untuk hal-hal yang mungkin pernah
terlintas pada pikiran manusia lain juga, aku akan sangat bersyukur.
9 Februari, 17
Boyolali

0 komentar:
Posting Komentar