Dari Anakmu Yang Sudah Lima Belas Tahun dan Belum Memiliki Mimpi
Masih pukul sembilan lebih dua puluh empat
menit. Sama sekali masih jauh dari kata ‘larut malam’. Tapi disinilah aku
berada. Di tempat tidur, bersandar tembok, dengan laptop di pangkuan, headset
yang mengalirkan lembut suara gitar Sungha Jung yang mengcover lagu Haru-Haru –
Bigbang, dan beberapa buku matematika yang ngomong-ngomong hanya kupelajari
dengan perbandingan satu banding limaratus, tanganku benar-benar memilih
menari-nari di atas keyboard daripada harus membolak-balik buku dengan
rumus-rumus D= b2 – 4ac mematikan. Kalau boleh
aku bercerita, aku tak tau kenapa aku malah menulis sebuah catatan. Mungkin
penulis-penulis akan menjawab bahwa menulis itu mengalir, kapan mereka ingin
menulis maka menulislah mereka. Tapi itu mereka. Dan aku bukan mereka. Aku
bukan penulis, dan tidak memiliki sedikitpun bakat menulis. Aku pernah bermimpi
namaku berada di barisan rak-rak buku, bersama Illana Tan, Winna Effendi,
Orizuka, Tere Liye, atau Winna Effendi. Tapi aku sadar bahwa mimpiku terlalu
jauh. Dulu aku juga pernah bermimpi akan memilih jurusan sastra saat kuliah
nanti lalu bekerja, dan kemudian bisa membahagiakan orang tua, menghajikan
mereka, dan entahlah, kurasa mimpiki terlalu jauh, terlalu sederhana, mimpiku
tidak down to earth....
Rasanya seperti mau menangis. Ketika orang yang
kamu cintai, Bapakmu sendiri bekerja mati-matian, siang malam, membanting
tulang demi keluarganya, demi anak-anaknya, demi masa depan anak-anaknya, rela
jauh dari keluarga. Dan ternyata anaknya belum memiliki mimpi yang pasti.
Terkadang, aku yakin bahwa mimpi tidak ada
batasan. Adalah kebebasan untuk bermimpi. Tapi saat menyadari mimpimu terlalu
jauh, apa yang kaulakukan? Tetap yakin? Atau merubah mimpimu?
Kau tau, aku yang sekarang adalah seorang anak
manusia yang paling bodoh. Aku yang sekarang adalah aku yang mudah menyerah.
Aku yang langsung down saat nilai ku
merosok dan tidak berusaha lebih keras untuk memperbaikinya. Aku tidak
menyalahkan siapapun. Tapi aku selalu benci dengan mereka yang dengan ‘instan’nya
mendapat nilai delapan, sembilan, atau sepuluh mungkin? Sungguh, aku tidak
menyalahkan meraka, dan aku tidak berhak. Tapi bisakah mereka sedikit berpikir,
sedikit melihat, sedikit mengerti ? Tidak bisa? Lalu seambisius kah mereka?
Dan mimpi terbesarku hanyalah mimpi sederhana :
Aku ingin membahagiakan bapak ibukku, aku ingin menghajikan mereka.....
Dan Untuk Tuhanku, izinkanlah hamba hina Mu ini
berdoa :
“Ya Allah, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain
Engkau. Ya Allah, aku ingin kau memperpanjang umurku dan kedua orangtuaku, Jangan
ambil mereka sebelum aku membahagiakan mereka, sebelum aku menghajikan
mereka.... Amin Amin Yarabbal Ngalamin :’) “
“Sayangilah orang tuamu. Jangan
terlalu sibuk tumbuh dewasa. Karena sesungguhnya orang tuamu juga tumbuh semakin
tua”
Tuhan, bolehkah aku berdoa lagi? Tolong, jangan
biarkan air mata ini mengalir sia-siaJ
Ditulis,
dengan perasaan biru dan sudut mata yang basah, 07 – 11 – 2012
Dan waktu cepat sekali berjalan,
sudah jam sepuluh lebih, selamat malam, saatnya tidur J


aamiin, semoga Allah mengabulkan :)
BalasHapusAmin amin amin, makasih fahri :)
Hapus