Selasa, 15 November 2011

batang rokok terakhir_the last cigarette



Batang Rokok Terakhir

Aku terus melangkah menghiraukan rintik-rintik hujan yang terus mengejarku. Aku memakai kacamata hitamku dan menggunakan jaket kulitku untuk menutupi kepala botakku, berusaha semampuku menghalangi air menempel di tubuhku. Ketika hujan semakin deras, aku tak mungkin berjalan lagi. Aku mengambil keputusan untuk berteduh saja di sebuah halte bis yang tidak terlalu jauh dari sini . Aku harus cepat sebelum halte itu penuh orang. Ah, akhirnya aku sampai dan masih mendapat tempat duduk di antara para ibu yang sedang asyik mengobrol sana-sini. Lalu sebuah bis datang  tapi tak banyak yang naik, aku juga, karena tujuanku di sini adalah meneduh dan bukan menunggu bis. Lama sekali masih hujan, aku mengambil sebatang rokok dari kantong jaketku yang lusuh lalu aku mulai merokok. Ya , aku adalah perokok berat. Gara-gara itu istriku.. ah tak perlu aku memikirkannya lagi. Aku mulai mendengar seorang ibu tua terbatuk-batuk, aku tak peduli. Tapi selang beberapa saat sebuah sindiran pedas dari seorang gadis  mengagetkanku.
Dia berkata “ Bapak punya telinga gak?  Apa perlu ibu itu bilang pada Bapak ‘saya sakit paru-paru’ . Baru Bapak mau berhenti merokok?.” Gadis  itu berkata padaku dengan nada tinggi.
Jika dia anakku, maka ingin rasanya aku menamparnya. Dia kira dia siapa. Apa dia pikir dengan berkata begitu dia merasa menjadi pahlawan? Merokok adalah hakku. Persetan dengan orang-orang disekitarku. Apa mereka tahu seberapa besar masalahku? Apa mereka tahu merokok adalah jalan terakhirku. Apa mereka tahu sudah selama ini... ah.. mereka semuanya tak tahu. Tak ada yang mencoba tahu. Lalu dia, seorang gadis yang kulihat masih duduk di bangku SMP sudah berani menegurku dengan nada sekeras itu. Apa dia tidak takut dengan kepalan tanganku yang sudah siap memukul pipinya? Tapi bagaimana aku bisa meluapkan emosi dan kemarahanku ini di antara pandangan benci dan hina semua orang yang tertuju padaku. Dua orang Ibu yang duduk di sampingku yang tadinya sedang asyik membicarakan sesuatu, yang kukira tidak peduli dengan kejadian tadi juga ikut menatapku tajam. Aku benci ketika aku harus menekan amarahku dan berusaha mengalah, seperti dulu dan selama ini. Akhirnya aku hanya menjawabnya dengan tatapan lembut yang kubuat-buat “Aku tak peduli” jawabku singkat, lalu aku membuang rokokku dengan terpaksa dan segera pergi meninggalkan tempat itu, walau masih hujan deras. Tapi tiba-tiba gadis menyebalkan itu mengejarku lalu menarik tanganku dan memberiku payung ‘Terimakasih pak, Bapak peduli’ dia berkata dengan senyum yang manis, sangat manis, seperti senyuman istriku. Aku tak menjawab sepatah kata pun. Aku hanya memakai payungnya dan segera pergi dari tempat itu. Aku berjalan cepat-cepat, dan sesekali menengok ke belakang dan ‘hah...!’ aku kaget, dia masih disana dengan senyumnya yang kembali lagi mengingatkanku lagi kepada sosok istriku. Aku menangkis ingatan itu, tapi tetap tak bisa. Setiap aku menutup mata rasanya bukan gelap tapi tersimpan senyuman itu. Akhirnya semalaman aku tak tidur dan melewatkannya untuk menonton tv, dan tentu saja dengan merokok.
Paginya aku bersiap untuk berangkat kerja. Aku keluar ke teras rumah dengan tas hitam dan tiga bungkus rokok. Tapi mataku yang agak sedikit kelihatan berkantung dan memerah menangkap sebuah benda yang memaksaku untuk mengingat kejadian kemarin. Payung itu, juga gadis menyebalkan itu. Aku sangat membencinya tapi apa pun yang terjadi payung ini adalah miliknya, aku harus membawanya. Aku pun segera berangkat, aku tidak ingin terlambat dan membuatku dalam masalah lagi.Tempat kerjaku tak terlalu jauh, aku hanya tinggal berjalan sekitar 2 km melewati persawahan yang luas dan sedikit hutan cemara di ujung sawah itu. Ketika angin semilir menyentuh kulit kasarku dan membuat sedikit kehangatan matahari menggetarkan apa yang seharusnya tak boleh kuingat lagi, seperti mendesak-desak, membuatku  terperangkap dalam satu pilihan untuk kembali masuk ke dalam memori hitam itu. Ketika rokok juga tak mampu membuatku terlontar ke atas langit, juga tak mampu meremas ingatan itu. Aku menutup mata, dan terlihat lagi senyuman gadis itu, benar-benar seperti senyuman istriku. Mengingatkanku saat-saat indah dulu, sekitar 23 tahun yang lalu ketika aku memberikan puisi kebada Endang, istriku. Ketika semalaman aku hanya berusaha membuat puisi yang seindah mungkin dan ternyata dia menyukainya. Puisi yang hanya beberapa larik itu begitu dalam seperti aku kepadanya. Aku masih sangat ingat setiap huruf dalam puisi itu..

jika hujan senja ini sudah tak mampu membelaimu dengan anginnya
jika daun- daun yang berjatuhan sudah berhenti menguatkanmu
jika awan sudah menyerah
jika memang aku juga tak bisa
jika memang aku benar tak mampu
biarkan aku bertahan...
dan menanti, sesaat sebelum kau hilang

Lalu kami menikah dan semuanya begitu indah sebelum dia mati karena kanker paru-paru akut, dan aku harus menerima pernyataan dari keluarga dan orang-orang di sekitarku bahwa dia mati gara-gara aku. Aku yang perokok berat, dan dia selalu berada di sisiku mendapat dampaknya. Aku sudah tak tahan lagi dan akhirnya aku pergi dari rumah, meninggalkan satu-satunya anak perempuanku dan tinggal di sini, kota kecil di Jakarta.
“ tiit.......”
“ Mas, mau mati ya???”
             Suara truk besar dan bentakan supir itu mengagetkanku. Membuyarkan semua ingatan yang membuatku semakin jatuh. Aku menatap langit, berharap aku bisa mengulang hidup ini. Aku ingin merubah setiap detail keburukan yang aku lakukan.
“hei arif, apa yang kamu lakukan. Cepat masuk dan ganti baju! Ada dua pasien yang mengamuk. Cepat !!!”
“baik pak.” Jawabku sekenanya
             Dan sekarang aku disini ingin merubah segalanya. Dengan bekerja sebagai perawat di rumah sakit jiwa ini aku yakin aku bisa merubah segalanya, menghapus ingatan-ingatan masa laluku, dan mengganti dosa-dosaku selama ini.
   “kalian bisa istirahat! Kau juga Arif. Kau sudah bekerja keras hari ini.” perintah Pak Kus pada kami.
“baik pak!” jawab kami serentak
Aku lelah sekali. Banyak sekali pasien yang mengamuk hari ini. Walau begitu, sampai senja ini aku sama sekali sudah tidak merasa terbebani dengan ingatan pahit itu. Terimakasih Tuhan.
“Bapak Arif, tunggu saya. Ada yang mau saya katakan .!” kata Pak Kus
“Baik Pak. Apa ada pasien yang mengamuk lagi?”tanyaku
“Tidak Pak Arif. Saya ingin meminta tolong Bapak untuk menemani anak saya. Katanya dia ada tugas membuat artikel tentang kinerja seorang perawat. Saya ada rapat, apa bapak mau membantu anak saya?”kata Pak Kus
“Oh, tentu saja pak”jawabku
“ Terimakasih pak . Anak saya ada di sana di sebelah taman .  Maaf ya Pak saya sangat buru-buru. Permisi pak..” kata Pak Kus ramah.
“ Iya Pak . Silahkan..”
             Aku segera menuruti perintah atasanku itu. Menuju taman tempat anak itu berada. Aku melihat seorang anak, kelihatannya sudah pernah kutemui. Gadis itu tengah mengamati ruangan-ruangan rumah sakit ini dengan kertas dan bolpen di tangannya. Apa itu anaknya? Aku sedikit ragu karena anak itu tak juga menoleh ke belakang.
“Nak, apa kau anak dari Bapak Kus?” tanyaku sambil memegang pundaknya.
Lalu dia menoleh ke arahku. Aku benar-benar kaget. Ternyata anak itu adalah gadis menyebalkan yang ada di halte kemarin.
“Ya Pak, saya anaknya Pak Kus. Nama saya Kiki. Apa Bapak bisa membantu saya membuat artikel tentang kinerja perawat di rumah sakit ini?”
             Anak itu menjawab dengan lembut dan seperti tidak pernah ada kejadian kemarin. Aku bingung mau menjawab apa. Di satu sisi aku membencinya tapi di sisi lain dia adalah anak dari atasanku yang lembut dan sopan. Aku pun tidak menjawab tapi malah balik memberinya pertanyaan yang tampaknya sulit untuk dijawab dengan raut muka biasa.
“Apa kau gadis yang punya payung ini ?”tanyaku sambil menunjukkan payung hitam itu.
“emmm....ya..!”jawabnya ragu-ragu dan dengan raut muka yang mulai berubah.
“ini..terima kasih”kataku.
             Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membesar-besarkan masalah lagi. Dan aku pikir tak ada yang salah dari kata-katanya kemarin.
“emmmmm....maafkan kekurang-ajaranku kemarin pak”katanya sambil menerima payung.
“kamu tidak salah . Ayo , katanya kamu ingin membuat artikel?”jawabku
“emm..iya pak.. Sebelumnya siapa nama Bapak?”
“Pak Arif,” jawabku singkat
“seperti nama ayah asliku dulu..”dia berkata sangat pelan namun masih bisa kudengar.
“Apa? ”
             Tunggu...dia bilang Arif adalah nama ayah aslinya, itu artinya Pak Kus bukan ayah kandungnya?. Dan dia bernama Kiki? Pikiranku kacau. Aku mulai teringat ketika 15 tahun yang lalu istriku melahirkan seorang bayi cantik yang sehat dan  menggemaskan dan kami mengambil keputusan untuk memberinya nama Kiki Nur Laila yang artinya Kiki cahaya  di malam. Kami begitu bahagia. 5 tahun kami lewati dengan senyum dan tawa. Kurasa tak ada yang lebih indah selain waktu itu. Aku memaksa otakku untuk berpikir lebih keras. Sampai satu pertanyaan menggantung di kepalaku. Dia..apakah dia anakku? Sudah lebih dari 10 tahun aku meninggalkan rumah dan juga anakku. Dan selama itu pun yang aku pikirkan hanya istriku dan orang-orang yang menyakitiku. Anakku begitu saja kulupakan. Aku seperti ayah dengan keegoisan tinggi yang perlahan menyakitiku diriku sendiri. Aku malu. Aku ayah yang tak sedikitpun mengingat anaknya sendiri. Jatuh dari tangga , atau hujan kemarin yang membuatku lupa ingatan. Itukah alasanku?
“Pak...Bapak...Bapak baik-baik saja kan?” tanya Kiki khawatir
 “Tidak. Berapa umurmu sekarang?  siapa nama panjangmu?  tanggal lahir.. kapan tanggal lahirmu?  apa kau masih ingat cerita Putri Kiky dan Pangeran Awan? cerita itu... kau ingat kan, ??? setiap malam aku selalu menidurkanmu dengan cerita itu.....”
“ tid...tidak, sebenarnya apa maksud Bapak?”
Aku menutup mukaku, aku frustasi. Kenapa aku begitu bodoh? Tentu saja dia bukan anakku.
“Ah.. maaf..aku terlalu berlebihan. Tentu saja kau bukan.” Jawabku lirih
             Aku menghela napas beberapa saat. Aku meraba-raba kantong celanaku, sebelum aku ingat bahwa aku telah membuang semua rokokku dan berjanji tidak akan lari dari masalah dengan menghisap rokok yang membuat semua beban beratku lenyap seketika. Tapi kali ini.... aku sudah tak kuasa. Aku tak peduli dengan janji itu. Tapi tak ada satupun batang rokok yang kutemukan. Aku benar-benar putus asa. Dan tiba-tiba Kiki mengulurkan sebatang rokok dan memaksaku menerimanya. Aku bingung.
“Bapak butuh rokok kan?”
Belum sempat aku menjawab, dia sudah memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi.
“Sampai kapan Bapak mau merokok? Rokok tidak akan membuat masalah hilang begitu saja. Masalah akan berlipat ganda jika tidak diselesaikan. Iya kan Pak? Bapak selama ini kemana? Aku mencari Bapak sudah bertahun-tahun. Apa perlu aku merayu agar Bapak mau pulang dan berhenti merokok.? Baiklah ... ‘Ayah..ayo pulang  dan berhentilah merokok..........
”Aku sangat merindukan Ayah..”
             Dia memelukku. rasanya Aku tak tau harus berbuat apa. Aku benar-benar bingung.
“ Ayah, ini aku... Kiki Nur Laila. Aku juga masih ingat cerita bodoh itu. Aku adalah anak Ayah...” kata Kiki yang berharap aku bisa mengingatnya.
             Aku membelai rambutnya dan mencium keningnya. Tapi aku belum sepenuhnya tersadar dengan semua yang tiba-tiba menghujamiku. Dia menatapku. Dia menatapku tajam. Dia tersenyum mungkin ketika melihat tatapanku yang setengah kosong. Lalu dia mengambil rokok yang ada di genggamanku, menghdupkan rokok dengan korek api di kantongnya dan memaksaku merokok. Kiki menyuruhku duduk di sebuah runtuhan tembok kecil, sebelum akhirnya dia juga duduk.
“Ini terakhir kalinya Ayah merokok. Ayah benar-benar pusing ya??”
Aku hanya mengangguk. Lalu aku mulai merokok. Pelan-pelan aku mengulang dan mencoba memahami perkataannya tadi. Oh... ini sangat mengharukan. Aku tak kuasa menahannya. Aku mulai menangis.
“ Jangan menangis Ayah..Ini kan rokok terakhir Ayah...”
Aku semakin menangis mendengar kata-katanya.
“Maafkan Ayah, Kiki. Maafkan ayah yang sudah bertahun-tahun meninggalkanmu....ayah sangat menyesal. Dan kau tau sesungguhnya perkataan mereka salah. Aku tidak membuat Ibumu mati, aku menyayanginya. Aku...”
“Ssttt.. Aku tau Ayah..aku tahu mereka hanya salah paham..”
Aku menatapnya. Sekarang matanya mulai basah dan dia mulai bercerita.
“Ibu sudah mengatakan semuanya padaku. Dia memberiku surat sebelum kematiannya. Ketika itu aku masih berumur 5 tahun dan aku belum bisa membaca. Aku terus berusaha belajar membaca sampai aku bisa. Lalu aku membaca surat itu lagi. Aku sudah bisa membaca, tapi walaupun sudah kuulangi...kuulangi..dan kuulangi membaca tapi kata-kata Ibu terlalu tinggi untuk anak seusiaku. Aku tak tau maksudnya. Maafkan aku Ayah.. Aku sangat bodoh. Baru saat umur 11 tahun aku benar-benar paham semua huruf dalam surat itu. Ibu berkata tentang semuanya, bahwa dia akan mati dan tentang Ayah yang sangat menyayanginya.... Aku tahu bukan Ayah. Ibu mati karena memang sudah dari dulu dia terkena kanker paru-paru, tapi dia menyembunyikannya. Dan aku tahu bahwa Ayah menjadi perokok berat setelah kejadian itu. Jadi mari kita ubah semua sekarang. Kita mulai hidup baru yaYah....”
             Aku hanya mengangguk, sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Lalu aku mulai menatapnya, menikmati irama rambutnya yang mengikuti terpaan angin senja ini. Melihatnya tersenyum, sungguh senyuman yang sangat manis, seperti halnya Istiku...
             Aku terus saja menatapnya, sebelum akhirnya anakku bangkit berdiri. Lalu kami berjalan beriringan menuju hidup yang lebih baik. Aku sudah berhenti menangis. Rokokku juga sudah habis. Rokok terakhirku.













 by : Mila Nur Rohmah

0 komentar:

Posting Komentar