Kamis, 09 Februari 2017

Melihat manusia lain

Malam ini ada perasaan ingin menulis sesuatu. Aku bukan pujangga dengan ribuan kata-kata bermakna dalam, tapi malam ini aku ingin menuliskan sesuatu yang sulit dimengerti. Sesuatu itu tidak bisa aku definisikan dengan baik, terhalang dinding-dinding kemunafikan, aku hanya manusia jenis penakut yang takut pada mata-mata manusia lain. Dan dibalik dinding itu aku melihat kumpulan manusia lain yang seolah mudah saja melewati dinding, tanpa sayatan atau darah. Kutebak mereka sudah lama disana, hingga lukanya telah sembuh dan aku baru melihat. Mustahil kan mereka terbang atau menembus dinding itu, tapi jika iya aku ingin tau darimana mereka belajar. Aku ingin kesana. Melupakan aku yang lama, menggugurkan hati yang patah mendormansikan melankoli, jika itu bisa aku akan senang sekali.

“Jika suatu sore seseorang yang aku kira pemberani  itu, menangis tersedu dan nestapa di balik kedua telapak tangannya, aku kira sekarang aku bisa sedikit mengerti.”

Pemberani, apa kedewasaan itu bisa dihitung? Aku sungguh butuh rumus matematika yang akurat agar bisa mengukurnya dengan tepat. Semakin aku damba, semakin menguras pikiranku. Berpikir apa yang aku lakukan ini dewasa atau tidak. Berpikir kenapa aku tidak bisa jadi kamu. Jangan-jangan selama ini rancu usahaku, atau kedewasaan memang seharusnya tidak diusahakan kepala.
Pemberani,  jika aku merasa aku orang baik, bukankah aku malah bukan orang baik? Saat aku dikecewakan aku merasa hati mendramatisasi, sorotan lampu semuanya diarahkan padaku, setan meracuni pikiran. Bahwa aku baik, dan seseorang yang menyakiti itu tidak baik. Aku jadi seolah-olah merasa tidak pernah mengecewakan orang lain. Sampai suatu saat ternyata aku tau, meninggalkan tidak semudah berlalu kemudian lupa dari mana dia berasal, melupakan tidak semudah membuat kenangan baru dengan orang baru tanpa malam-malam sesak karena rindu masa lalu, bahkan melukai tidak mudah. Ternyata benar, hidup penuh keabu-abuan dan tidak baik memandang sesuatu dari satu sisi.
Pemberani, suatu hari aku mendengarkan cerita dari seorang manusia lain. Manusia itu suka tertawa dan menyenangkan orang lain. Hal yang aku tidak tau, dia menjadi melankoli tiap malam, kemudian air mata untuk hal-hal abstrak dan sepele. Ada ironi, dan pertanyaan di kepalaku, terus-terusan, karena aku merasa sama. Apakah tiap manusia begitu dan layaknya dibiarkan saja, atau itu bentuk penyimpangan psikologi yang entah bagaimana mengatasinya?
Pemberani, pernahkah kamu merasa sangat munafik? Suatu saat ketika kamu melebur dalam senyum dan tawa-tawa manusia lain  dan merasa bahagia, namun saat kamu pulang dalam kamar yang hanya ada kamu sendiri, kamu merasa itu tadi bukan kamu? Ah, sepertinya aku bercanda terlalu banyak. Ah, kenapa aku menceritakan itu kepadanya… Ah, kenapa tadi aku kekanak-kanakan? Kamu merasa tidak puas dengan sifatmu, dan rasa-rasanya kebahagiaan itu bukan kebahagiaan yang semestinya. Semua orang ingin melihat bahagianya, sebagai kenangan yang tidak ingin mereka ubah.  
Pemberani, dalam perjalalananku aku bertemu berbagai rupa, dan beberapa orang adalah sahabat perempuanku. Perempuan-perempuan itu sangat menginspirasi. Aku ingin sekali jadi mereka, semoga iriku adalah iri yang baik, agar tetap tidak melupakan syukur dan mencintai diri sendiri. Mengagumi orang lain, tanpa men-inferiorkan diri sendiri.
Pemberani, aku baru memahami, ayah dan ibu juga baru sekali menjadi ayah dan ibu. Maka ketika mereka mengecewakan kita atau membuat kesalahan, itu hal yang wajar. Sebagaimana kita. (Reply 1988)
Pemberani, ada laki-laki datang pada banyak mimpi. Dia datang dalam hegemoni yang berbeda, terkadang lebih banyak antagonis. Kebaikan muncul ke permukaan, hilang lagi diseret arus. Aku menyakinkan arus itu yang nyata, tapi kebaikan menepi di kapalku lagi. Hanya saja, aku sekarang menyadari kenapa aku egois pada kebaikan seseorang. Ini waktu yang tepat untuk melihat sesuatu dari dua hal sekaligus. Kebaikannya indah, arusnya juga indah. Lebih indah lagi, awan pada langit yang biru agar aku melihat ke atas sembari mengarung kapalku ke tepi. Sampai waktunya aku menemuimu pemberani, di ujung pantai dekat dermaga. Semoga saat itu aku juga sudah jadi pemberani.

Pemberani, aku tau aku menulis hal-hal aneh. Tapi inilah pikiranku di awal bulan Februari tahun 2017 saat umurku 19 tahun. Mungkin terlalu banyak pertanyaan retoris, tapi aku benar-benar bersyukur bisa menuliskannya daripada hanya berputar-putar di kepalaku dan mulai terabaikan.

Untuk hal-hal yang mungkin pernah terlintas pada pikiran manusia lain juga, aku akan sangat bersyukur.

9 Februari, 17

Boyolali