Jumat, 09 November 2012

, , , , , , , , , , , , , ,

Untuk Ibuk, Untuk bapak


Dari Anakmu Yang Sudah Lima Belas Tahun dan Belum Memiliki Mimpi

Masih pukul sembilan lebih dua puluh empat menit. Sama sekali masih jauh dari kata ‘larut malam’. Tapi disinilah aku berada. Di tempat tidur, bersandar tembok, dengan laptop di pangkuan, headset yang mengalirkan lembut suara gitar Sungha Jung yang mengcover lagu Haru-Haru – Bigbang, dan beberapa buku matematika yang ngomong-ngomong hanya kupelajari dengan perbandingan satu banding limaratus, tanganku benar-benar memilih menari-nari di atas keyboard daripada harus membolak-balik buku dengan rumus-rumus D= b2 – 4ac mematikan. Kalau boleh aku bercerita, aku tak tau kenapa aku malah menulis sebuah catatan. Mungkin penulis-penulis akan menjawab bahwa menulis itu mengalir, kapan mereka ingin menulis maka menulislah mereka. Tapi itu mereka. Dan aku bukan mereka. Aku bukan penulis, dan tidak memiliki sedikitpun bakat menulis. Aku pernah bermimpi namaku berada di barisan rak-rak buku, bersama Illana Tan, Winna Effendi, Orizuka, Tere Liye, atau Winna Effendi. Tapi aku sadar bahwa mimpiku terlalu jauh. Dulu aku juga pernah bermimpi akan memilih jurusan sastra saat kuliah nanti lalu bekerja, dan kemudian bisa membahagiakan orang tua, menghajikan mereka, dan entahlah, kurasa mimpiki terlalu jauh, terlalu sederhana, mimpiku tidak down to earth....

Rasanya seperti mau menangis. Ketika orang yang kamu cintai, Bapakmu sendiri bekerja mati-matian, siang malam, membanting tulang demi keluarganya, demi anak-anaknya, demi masa depan anak-anaknya, rela jauh dari keluarga. Dan ternyata anaknya belum memiliki mimpi yang pasti.