Dari Anakmu Yang Sudah Lima Belas Tahun dan Belum Memiliki Mimpi
Masih pukul sembilan lebih dua puluh empat
menit. Sama sekali masih jauh dari kata ‘larut malam’. Tapi disinilah aku
berada. Di tempat tidur, bersandar tembok, dengan laptop di pangkuan, headset
yang mengalirkan lembut suara gitar Sungha Jung yang mengcover lagu Haru-Haru –
Bigbang, dan beberapa buku matematika yang ngomong-ngomong hanya kupelajari
dengan perbandingan satu banding limaratus, tanganku benar-benar memilih
menari-nari di atas keyboard daripada harus membolak-balik buku dengan
rumus-rumus D= b2 – 4ac mematikan. Kalau boleh
aku bercerita, aku tak tau kenapa aku malah menulis sebuah catatan. Mungkin
penulis-penulis akan menjawab bahwa menulis itu mengalir, kapan mereka ingin
menulis maka menulislah mereka. Tapi itu mereka. Dan aku bukan mereka. Aku
bukan penulis, dan tidak memiliki sedikitpun bakat menulis. Aku pernah bermimpi
namaku berada di barisan rak-rak buku, bersama Illana Tan, Winna Effendi,
Orizuka, Tere Liye, atau Winna Effendi. Tapi aku sadar bahwa mimpiku terlalu
jauh. Dulu aku juga pernah bermimpi akan memilih jurusan sastra saat kuliah
nanti lalu bekerja, dan kemudian bisa membahagiakan orang tua, menghajikan
mereka, dan entahlah, kurasa mimpiki terlalu jauh, terlalu sederhana, mimpiku
tidak down to earth....
Rasanya seperti mau menangis. Ketika orang yang
kamu cintai, Bapakmu sendiri bekerja mati-matian, siang malam, membanting
tulang demi keluarganya, demi anak-anaknya, demi masa depan anak-anaknya, rela
jauh dari keluarga. Dan ternyata anaknya belum memiliki mimpi yang pasti.
