Sudah berapa kali kulihat matahari terbit menuju
peraduan padahal sebenarnya menunggu disana ia sendirian. Lalu malam dan dia
sirna.
Sudah berapa kali bulan mengintip di jendela atas
kamarku, meski aku tau berputar-putar dia jauh disana mengikuti bumi, tapi
ternyata menjadi sama tidak menjamin kebersamaan yang abadi. Karena siang dan
dia hilang.
Sudah berapa kali kurasakan hujan menjadi penyembuh,
setiap tempiasnya aku selalu belajar untuk bersabar. Kuusap berkali-kali pada
suatu waktu dengan tanganku, atau sesekali kubiarkan bola mataku menelannya
lagi.
Sudah berapa kali orang berkata, ngga apa2 sambil
tertawa saat seseorang peduli bertanya ada apa. Apa introvert bagian dari kerja
alam bawah sadar melindungi dari luka, atau itu pilihan. Kurasa, tiap orang
punya topeng, dan pandai berpura-pura.
Apa menjadi dewasa sebegitu tidak menyenangkan?
.
.
Dan aku sekarang mungkin mulai sedikit memahami, perjalanan ini
***
***
Menjadi dewasa memaksaku berpikir dan merasa lebih
dalam.
Ternyata meninggalkan bahkan jauh lebih sakit
daripada ditinggalkan. Bertahun-tahun aku hapal dengan apa yang namanya
perpisahan. Aku melepas ayah pergi ke perantauan berkali-kali di daun pintu.
Dikecupnya keningku, kakak, dan adikku sambil berkata agar kami jadi anak yang
baik dan segala wejangan lainnya. Dipeluknya ibuku sebagai penutup, dan aku
selalu bertanya-tanya kenapa ayah selalu terlihat sakit waktu akan pergi. Aku
tanyai ayah kapan ia kembali ke
perantauan saat ia baru datang, dan aku mulai menghitung hari dengan cemas. Aku
dan mungkin ibu juga saudara2ku selalu menangis diam-diam ketika ayah mulai
meninggalkan rumah kami. Rasanya kesepian menjalar ke setiap sudut rumah.
Rasanya..meski berepetisi, tapi tidak pernah berkurang birunya. Aku menghapal kenangan itu sebagai
memori inti berwarna biru.
Dan menjadi dewasa ini, aku belajar…Berpamitan
kepada keluarga menuju perantauan, mencium tangan ibu, melihat rumah yang mulai
menghilang di ujung mata, (sungguh)
lebih sesak ketimbang ditinggalkan.
***
***
Menjadi dewasa menuntutku selalu sembuh di tengah
ekspektasi dan harapan.
Ternyata aku yang paling banyak mengecewakan aku.
Ternyata aku yang paling membuat hidupku berantakan. Ternyata aku yang paling
membuat aku sedih. Bukan orang lain.
“Kamu sibuk mikirin apa yang orang lain pikirin
tentang kamu, padahal orang lain juga sibuk mikirin apa yang kamu pikirin tentang
mereka. Pada dasarnya semua orang Cuma ngurusin diri sendiri” seseorang bilang
kepadaku kemarin malam, dan aku tidak bisa tidak setuju
Apalagi di tengah kuat2nya arus teknologi dan sosial
media, kita akan sadar: Kita melakukan apapun hanya untuk dilihat orang lain,
bukan untuk menjadi diri sendiri apalagi wujud eksistensi diri. Dan aku juga
sesekali ikut luruh dalam arus itu.
Kayak kita berkumpul dengan teman dan sahabat atau
tiba di sebuah tempat yang indah. Lalu kita foto dan hiasi laman kita itu dan kita
jadi lupa tujuan kita adalah mengabadikan momen. Jangan jangan kita malah tidak
menikmati momen sama sekali, atau jangan-jangan lagi (yang paling parah) kita sengaja
ciptakan momen untuk di-iri-kan orang-orang yang melihat laman kita itu. Pretending
to be happy? Yah semoga tidak ya.
Kadang merasa lebih sosial, atau people oriented itu
hal yang bagus ketika perasaan itu kita datangkan dalam keseharian. Kita mungkin
akan lebih menghargai perasaan orang lain dan tidak mudah menyakiti.
Tapi menjadi dewasa membuatku mengerti, kalau aku
terus-terusan mudah menjadi melankolis atas yang orang lakukan dan pikirkan
tentangku, aku tidak akan berkembang. Aku akan mudah dikecewakan atas
ekspektasiku atas orang-orang. Aku tidak akan bisa independen.
**
**
Menjadi dewasa membuatku mengetahui atas apa yang
belum boleh aku miliki
"Ketika aku di tengah-tengah kerumunan orang, aku
selalu berusaha mencarimu. Biarpun jika aku menemukan orang yang salah, aku
akan terus mencarimu. Dan ketika aku sedang mencarimu, tak peduli seramai
apapun kerumunan itu, entah bagaimana aku pasti menemukanmu sebagai yang
pertama. Aku ingin tau apakah itu yang disebut jatuh cinta". – sebuah monolog
film Ao Haru Ride
Aku merasa payah mengatakan hal-hal retoris tapi
dalam menyukai seseorang memang selalu ada senang dan sedih, lalu seseorang itu
bisa ubah itu hanya dalam sepersekian detik. Membuat pertanyaan-pertanyaan yang
sama dengan jawaban yang berbeda, dan aku selalu tidak punya pembenaran mana
simpul yang nyata..selalu terluka dalam ketidak menyerah an ini. Ironi.
Katanya desaran pasir tak bisa dusta, tapi manusia
punya banyak topeng untuk berpura2. Egois, aku mau tetap pakai topeng, tapi
memaksa dia membukanya (atau jangan2 itu wajah aslinya?). Berikan aku
isyarat…agar aku merasa segar di tengah-tengah padang pasir yang sekali angin
berhembus aku bisa jengah kembali, dan ternyata haus kembali. Aku akhir-akhir
ini menemukan isyarat bukan penyelesaian, bagai morfin aku butuh dosis yang
lebih tinggi, hingga sekarat dan sekat-sekat perasaan yang selama ini aku jaga
menjadi hanya sekadar fatamorgana.
Dalam arah, menghilang aku mencari
pembenaran-pembenaran atas sikapku, atas perasaanku, atas kecewaku, atas
tangisku. Semuanya terasa salah. Semuanya yang kadang berlebihan. Aku terlalu
merasa.
Dari sini aku bisa lihat perpisahan begitu nyata. Di
satu sisi aku ingin cepat tiba, tapi keberadaan seseorang itu membuatku semakin
sesak dan berat berteman dengan waktu.
Di titik-titik dikecewakan, aku menyadari aku
terlalu percaya diri. Rasanya seperti semesta mengejekku, aku dipermalukan
habis-habisan, dan tidak ada satu halpun menjadi bantalan penahan rasa sakit
setelah jatuh dari tebing ekspektasi berketinggian super itu. Aku jatuh, lagi.
Di antara kerikil dan batu-batu besar. Aku merintih getir. Tapi dari atas sana,
dia meneriaki namaku lalu sekelebat, luka itu tidak ada rasanya lagi dan aku
akan kembali mendaki (lagi). Seperti siklus yang tidak pernah berhenti.Aku
tidak mabuk, tapi aku tidak pernah bisa sungguhan marah. Memangnya mau marah
pada siapa?
Namun…
Di perjalanan ini, aku berterimakasih kepada Tuhan, terlepas ketersesatanku sekarang, aku
ingin menunggu muara itu di depan mata. Nanti saja, perjalananku masih panjang.
Semoga batas-batas itu tidak lagi kulanggar.
Karena menjadi dewasa membuatku berpikir ada hal
yang tidak boleh kumiliki sekarang, di tengah-tengah perjalananku yang masih
jatuh-bangun dengan segala kekurangan-kekuaranganku harus ada aturan. Harus ada
sekat bernama agama, dan Tuhan janji muara itu akan datang nantinya. Semoga aku
tidak perlu isyarat dan pembenaran lagi. Mungkin belum bisa sepenuhnya meninggalkan,
tapi aku akan jaga.
Banyak hal yang aku tau berubah
seiring ini.
Dan akan lebih banyak.
22 Maret 2016
Jakarta
